DEMAM PANGGUNG
Mendung hitam menggantung rendah di langit Lembang Sari, warnanya kelabu kehitaman bagaikan raksasa besar yang hendak menerkam mangsa.
awan itu bergulung gulung membentuk lukisan cat minyak yang dituangkan dalam kanvas oleh pelukis seolah menggambarkan suasana hati yang sedang gundah gulana merana dan tersiksa oleh himpitan nafsu dunia memuncak hampir meledak rupanya.
Sesekali cahaya terang acak keluar dari awan itu diselingi gelegar bersaut sautan.
tak lama kemudian seolah di tumpahkan dari langit butiran butiran air deras menghujam bumi, gemuruh suaranya seperti rangkaian kereta api yang berisik mendorong gerbong tak berkeputusan memenuhi mayapada ini.
aku yang tengah berkendara dengan sepeda motor bututku sudah memperkirakan akan terjadinya hujan yang demikian deras ini dan dengan segera aku sigap menepikan sepeda motorku mencari rumah atau atap dipinggir jalan lenggang yang bisa menahan derasnya hujan yang menghantam bak hendak menghancurkan tubuh lelah ku setelah seharian beraktivitas.
sebetulnya aku agak menggerutu menyumpahi atas keteledoranku tidak mempersiapkan diri menghadapi cuaca ekstrem yang sedang berlangsung di dunia ini pada umumnya, seperti menyiaapkan mantel hujan.
dan sebetulnya aku tidak pernah lupa dengan mantel hujan itu kecuali hari ini.
kemarinpun sama terjadi hujan dan setelah sampai tempat kostku aku menggantungkannya di hanger dan kemudian pagi ini lupa menyimpan kembali di bawah jok motor.
.... ya sekali lagi aku lupa untuk melipatnya dan mengemas di bawah jok motorku.
aku menertawakan keteledoranku itu, sehingga harus menunggu hujan ini reda dan melanjutkan perjalanan ini pulang dan membayangkan merebahkan badan lelah ini di kasur empuk...
oh indah sekali bila saat hujan seperti ini sudah ada di rumah merebahkan diri bermalas malasan sambil menyeruput kopi panas instan yang bisa kudapatkan di warung depan kosan, jujur aku rindu itu ingin segera sampai dan menunaikannya.
tapi ya sekarang aku terjebak disini di bawah atap sebuah toko yang tutup karena memang sudah sore sehingga mengharuskan toko ini tutup menyisakan sedikit emperean dengan atap yang kecil dan nyaris tampias oleh air hujan, tapi setidaknya lumayan dapat sedikit melindungi dari cipratan air dan dinginnya cuaca.
memang di cuaca ekstrem seperti ini curah hujan sangat tinggi walaupun bukan di musim hujan tentunya.
ditambah ketidakdisiplinan masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya menyebabkan penumpukan sampah membuat pemandangan tidak enak aroma tak sedap.
dan apa yang terjadi pastinya, kemudian sampah sampah itu di biarkan begitu saja menumpuk dan menyumbat saluran air dan sudah dapat ditebak bahwa banjir mengintai mereka.
aku melihat keatas, dan awan tebal dan kelabu seolah menyeringai mengejekku, mentertawakanku karena kedinginan dan tanpa teman.
untuk mengusir kejenuhan aku meraba kantong jaketku, mencari cari bungkus rokok dan sejenak senyum kemenanganku terhadap awan itu mengembang ketika menjumpai bungkus rokok itu tersimpan pada saku bagian dalam jaket bututku, memang aku sudah memperkirakan hujan akan datang ketika tadi aku beranjak pulang dari parkiran kantor sehingga aku menyimpan bungkus rokok itu dengan rapi dan baik, mencegah air hujan membasahi bungkus rokok itu dan menghancurkan harapanku untuk mengusir kejenuhan akibat menemukan bungkus rokok dalam keadaan basah akibat air hujan. dan juga aku sangat beruntung karena aku adalah menyimpan bungkus rokok itu dalam kotak kedap air memungkinkan air tidak masuk walaupun agak sedikit lembab tentunya.
aku menghembuskan asap rokoku jauh ke udara setelah selesai membakar ujungnya,
uhh nikmatnya membunuh kejenuhan dengannya terasa suasana mencekam itu sebagian sirna, sekali lagi dan lagi ku hembuskan asap rokok itu ke udara dingin bercampur air, seolah sedang menantang awan yang masih setia mengejekku atau mungkin monster beku yang tak terlihat.
sejenak aku perhatikan lingkungan sekitar tempat meneduh ini, tampak sepi, tak ada pengendara motor yang lewat atau mungkin mereka sedang meneduh di tempat lain ataukah mereka sedang bersantai di rumah duduk di dalam rumah sambil menikmati waktu indah dalam suasana hujan, bercengkrama dengan keluarga menikmati kopi panas teh hangat dan mie instan, betulkah itu....
sejenak aku iri membayangkan semua itu, mereka yang punya pekerjaan mapan, rumah tinggal keluarga kecil dengan candaan anak anak kecil berlarian dengan tingkah konyol dan lucu mereka...
ohh sungguh aku ingin seperti itu, tapi apalah daya diriku ini...
aku adalah seorang pegawai rendah di sebuah kantor swasta, di kota Lembang Sari ini. dengan gaji kecil yang tidak cukup untuk membiayai hidup, membayar kosan makan sehari hari, membeli kopi dan rokok.
apakah aku menyesali hidupku...?
anganku menerawang jauh ke masa dulu.....
berbekal ijazah SMA aku merantau ke kota kecil Lembang Sari melamar kerja dari perusahaan satu ke perusahaan lain berharap dapat bergabung dalam salah satu perusahan itu yang dari luas dan besar pintu gerbangnya saja seluas dan sebesar lapangan futsal.
lalu membayangkan memperolah gaji besar, hidup enak, tempat kerja berpengatur udara, teman kerja ramah dan punya bos yang baik mendapatkan fasilitas bagus, bonus bulanan bahkan tunjangan hari raya yang nilainya cukup untuk berangkat wisata religi ke tanah suci...
hah....
aku senaif itu dulu, bangganya aku menenteng ijazah SMA dengan lulus yang pastinya di paksakan lulus karena kebijakan dari sekolah di daerahku...
aku yang terkenal bukan karena prestasiku di kelas yang nilai matematikanya saja tak beranjak dari nilai 2....
aku yang tersohor karena tercatat sebagai siswa yang rajin mangkir dari kelas yang selalu rajin di panggil guru BK, yang selalu berhasil membasahi pipi ibu wali kelas karena kehadiranku kurang perminggunya...
bodohnya aku sebangga itu dulu, dengan kenakalanku sekarang aku menuai hasil dari kegigihanku bermalas malasan..
dan aku sengsara sekarang bekerja sebagai pembuat kopi, bukan bartender di cafe dengan gaji besar tapi aku hanyalah seorang pesuruh kantor dalam hal membuatkan minum, yang selalu disuruh untuk beli ini beli itu di kantor...
jika tak sesuai maka para karyawan yang menyuruhku akan bebas memarahiku, memakiku tak jarang membentak ku dan mengeluarkan kata kata kasar mengatakan aku dengan sebutan yang mungkin sering di teriakan para preman di persimpangan jalan bahkan tak ketinggalan menyebutkan nama nama dari keluarga kebun binatang pastinya dengan makna konotatif.
yaa aku menuai hasilnya hari ini, memanen buah yang kutanam dan terkadang menangis tanpa air mata, menyendiri dalam gelapnya kebodohan menahan beban hidup yang kupikul di pundak.
bukan aku tak bersyukur bahwa hari ini aku masih bisa hidup, masih bisa menarik nafasku masih bisa merasakan kaki ini menapak dan menginjak bumi ini,
namun seharusnya aku boleh menyesali keburukanku dulu sikap apatisku, kesombonganku karena sejujurnya aku hidup terlunta ditinggal orangtua.
ketika kecil di asuh oleh tetanggaku karena pada dasarnya orangtuaku pun yatim piatu tak punya sanak saudara yang kemudian memaksaku hidup di jalan bersama orang orang jalanan
yang kemudian pada suatu hari tertangkap oleh polisi di karenakan pencurian nasi dari sebuah warung kecil dan pemiliknya dengan tega melaporkanku ke polisi di proses namun tak ada pasalnya karena aku memperoleh perlindungan sebagai remaja di bawah umur
lalu nasib membawaku ke sebuah panti asuhan yang dengan sangat baik hati membesarkanku menyekolahkanku hingga tamat SMA dengan segala drama koreanya.
sejenak aku tertawa dalam kesedihan membayangkan itu semua...
mungkin jika kisahku di jadikan cerita sinetron maka akan memperoleh rating tertinggi karena kisahku adalah kisah tragis...
yaa tragis bagiku...
tapi tunggu dulu, bukankah kisah sinetron akan selalu berakhir bahagia, seringnya begitu bukan,
orang yang kisah hidupnya pilu kemudian di adopsi oleh keluarga kaya bergelimang harta bapak pengusaha di luar negeri dan ibu sukses di karier dan juga pasti menjadi golongan ibu sosialita yang memiliki cinci dan kalung berlian, memakai tas branded dan berpakaian mewah, mengendarai mobil berkilat yang apabila terkena air hujan maka cat kilapnya tetap mengkilat dan tak akan pudar begitu saja.
atau mungkin kisah piluku mengantarkanku untuk menemukan uang bermilyar rupiah tak bertuan terkubur dalam tanah yang berhasil membawaku menjadi milyader yaitu dengan tidur di kasur berlapis emas berselimutkan tenunan sutera dan minum minuman mahal dari gelas perak, memiliki pembantu bersusun dari tukang kebun sampai tukang masak, dan biasanya jarak antara gerbang sampai dapurku mengharuskan menggunakan kendaraan karena saking luasnya rumahku dan yang terpenting adalah hanya dengan menunjuk menggunakan jariku aku sudah dapat mendapatkan keinginanku.
tidak, aku hidup di dunia nyata bukan kisah sinetron dan bukan cerita film atau konten prank yutub.
sekali lagi tidak...
aku hidup dan benar benar hidup di kosan kumuh dalam lingkungan kumuh yang apabila ada keluarga yang sedang berbisik pun akan terdengar sampai ke kamar kostku,
kasurku bukan kasur empuk melainkan spon yang sudah selayaknya diganti, bantal keras seperti onggokan pasir. makan sehari pas malam hari waktu mau tidur, tak ada sarapan nasi goreng dengan telor ceplok di atasnya atau roti tawar dengan selai nanas atau susu kental manis yang di oleskan di atasnya....
ku hembuskan lagi asap rokoku tinggi keudara dan membuang puntungnya ketika kulihat apinya sudah hendak membakar jari jari yang menjepitnya.
masih hujan...
entah kapan akan berakhir hujan ini, kulihat mendung masih tebal di atas sana, beruntungnya aku adalah tidak adanya kilat dan petir yang seakan mau meruntuhkan detak jantungku dan menghentikan aliran darahku...
kemudian....
sayup sayup aku mendengar ayam jantan berkokok pelan,
aku heran mengapa terdengar suara berkokok di sore menjelang petang ini, apakah aku salah dengar.
dan aku mendendarnya lagi dan lagi....
yang kemudian baru kusadari bahwa suara berkokok itu bukan dari ayam jantan yang lupa akan waktu berkokoknya,
namun karena di sebabkan suara perutku berkokok atau lebih tepatnya suara cacing dalam dinginnya udara meminta jatah untuk diisi.
aku baru ingat terakhir aku memberi jatah padanya adalah watu makan malam hari kemarin.
biasanya di kantor aku sering mendapat jatah gorengan cemilan atau makanan kecil dari karyawan sebagai ucapan terimakasih karena aku telah baik dalam mengerjakan suruhan mereka.
tapi hari ini aku tak mendapatkan jatah itu bukan karena aku tak melakukan pekerjaanku, namun karena tak ada yang memberiku cemilan itu. apakah mereka lupa atau karena ini adalah bulan tua, yang artinya merekapun sama sama tak punya uang lebih untuk sekedar membelikanku cemilan.
oh indahnya hidup ini,
suara itu berkokok semakin jelas terdengar
aku mengelus perutku dan berjanji dalam hati akan memberinya jatah saat tiba di kosan nanti...
mungkin dengan sebungkus nasi padang, nasi warteg, atau bahkan hanya dengan mi instan.
aku hanya bisa tersenyum....
entahlah, yang jelas apapun itu aku harus bersyukur masih di beri nafas dan di beri hidup oleh yang maha kuasa.
-oleh Hermawan Yulianto-
No comments:
Post a Comment